24 Juli 2011

PERSAHABATAN by: WIDYAWATI

           



            Betapa bahagianya mempunyai sahabat-sahabat yang selalu ada dikala suka maupun duka. Mereka bukan anak konglomerat, mereka bukan orang terkenal, tidak cantik, tidak kaya dan biasa saja. Namun aku bangga memiliki sahabat seperti mereka. Karena merekalah yang selalu menghiburku di kala aku sedih, ikut bahagia di saat aku senang dan memadamkan api amarahku. Hidupku menjadi sempurna karena dikelilingi oleh sahabat yang hebat.
            Persahabatan kami bermula sejak pertama kali kami bertemu di kelas 1 SMK. Kami sekelas dan awalnya kami tak mengenal satu sama lain. Semuanya mengalir begitu saja, dan berjalan alami. Seiring dengan berjalannya waktu, kami pun bisa menjadi sahabat yang dekat. Kompak dan selalu bersama di setiap kesempatan.
            Mungkin karena kami selalu bersama orang mengira kalau kami membuat sebuah geng. Namun kami menggubrisnya, kami selalu terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Mungkin kedeketan kami hanyalah karena kecocokan satu sama lain.
            Lisa, sahabatku yang juga teman sebangkuku. Wajahnya yang teduh dan jilbabnya tertutup rapat begitu menenangkan siapa saja yang melihatnya. Senyum yang ia pancarkan juga begitu manis dan mampu membuat kaum adam terpana. Ia dari golongan keluarga yang sederhana. Namun kecerdasan dan kedewasaannya sangatlah menonjol dari dirinya. Aku dan Lisa termasuk 2 besar di kelas yang terus bersaing, tapi secara sehat juga dong.
            Sahabatku yang satu lagi adalah, Intan. Terlintas dalam benakku dikala pertama jumpa, dia seorang yang pendiam. Tapi ternyata lama-kelamaan sifat aslinya keluar juga. baru sadar aku, kalau Intan itu orangnya sangat cerewet. Namun, dibalik kecerewetannya itu, Intan juga sosok yang dewasa dan pandai mengatur keuangan. Ia memang sangat bisa diandalkan untuk jadi bendahara kelas.
            Sedangkan aku, Widya. Cewek yang biasa aja. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Anak-anak di kelasku begitu mempercayaiku tuk jadi ketua kelas. Mungkin terlihat dari watakku yang galak dan tegas. Menjadi pemimpin memang bukan tugas yang mudah. Tanggung jawab yang dipikul begitu berat. Terkadang harus memberi contoh yang baik bagi teman-teman. Kalau nakal dikit selalu saja dikait-kaitkan dengan jabatan. Huh, menyebalkan sekali. Tapi aku menikmatinya. Mengasyikkan juga ternyata menjadi pemimpin, walaupun hanya sebagai pemimpin kelas.
            Kami bertiga tergolong siswa yang paling aktif dan berprestasi di kelas. Teman-teman yang lain seolah iri dengan persahabatan kami yang begitu menonjol. Terkadang banyak yang berusaha untuk menjatuhkan kami. Tapi karena kebersamaan kami, akhirnya kami bisa melewati semua ujian itu dengan mudah. Kami selalu terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Walaupun terkadang hinaan dan sindiran selalu dilemparkan pada kami. Kami selalu bersabar dan tetap berusaha untuk tetap baik pada mereka. Tersenyum dan tetap memaafkan adalah cara ampuh kami untuk terus berlapang dada menerima setiap cobaan.
***
            Hari itu, suasana kelas begitu riuh. Ironis memang. Padahal di kelas itu ada seorang guru yang sedang mengajar. Namun, entah karena mereka tidak peduli atau menyepelekan pelajaran yang dibawa guru itu, mereka seolah tidak menganggap kehadiran guru itu. Aku dan Lisa menjadi geram dengan tingkah anak-anak di kelas yang benar-benar sudah kelewatan. Ingin rasanya aku meninju anak-anak yang berisik itu agar memperhatikan guru itu. Kasihan guruku itu, sudah tua, suaranya memang pelan untuk menerangkan materi yang ia sampaikan. Namun, kelemahan guruku itu malah dijadikan hal sepele bagi mereka. Mereka malah sibuk mengobrol sendiri-sendiri. Bahkan berani-beraninya tertawa cekikikan dikala yang lain sedang sibuk menyimak buku.
            “Sekarang giliran Lina yang membaca lanjutannya.” Ucap Pak Harto pelan sambil mendongakkan kepalanya mencari sosok yang ia panggil itu. Namun tak ada respon. Orang yang beliau panggil itu ternyata sedang sibuk berdandan. Aku semakin geram dan tak tahan untuk bersabar.
            “Heh Lina! Kamu itu mau belajar atau mau ngelenong? Hargai dong guru lagi ngajar! Daritadi juga kalian semua sibuk sendiri ga memperhatikan Pak Harto lagi mengajar. Kalian gak tau diri banget ya. Seharusnya kalian malu! Kalian tuh udah dewasa, gak pantes terus-terusan ribut di kelas seperti anak SD!” Teriakku dengan penuh emosi yang meluap-luap sambil merebut kaca dan sisir yang dipegang Lina dan membantingnya hingga pecah dan hancur. Suasana kelas yang tadinya ribut kini tiba-tiba jadi sunyi, mereka kaget dan terbengong-bengong melihatku yang tiba-tiba marah.
            “Sabar, wid.” Bisik Lisa sambil mengelus pundakku.
            “Aku daritadi sudah cukup sabar ya menghadapi kalian. Aku pikir kalian bisa sadar diri. Tapi ternyata tidak. Kalian tidak pantas disebut orang dewasa!”
            “Sudah-sudah, wid. Bapak ngerti kok apa yang kamu rasakan. Bapak juga cuma bisa bersabar menghadapi kalian. Bapak harap kalian bisa menerima dan menghargai bapak dan juga pelajaran bapak. Bapak tahu, pelajaran Kewirausahaan memang pelajaran yang membosankan bagi kalian. Tapi tolong, ini demi kalian juga, mohon perhatiannya sedikit saja. Setelah itu kalian bebas untuk ribut sesuka kalian. Asalkan jangan mengganggu yang lain di pelajaran bapak.” Kata Pak Harto dengan bijak berusaha mencairkan suasana.
            Seketika itu juga, akhirnya kelas menjadi sunyi dan semua anak memperhatikan pelajaran dengan seksama hingga jam pelajaran usai. Aku salut pada kesabaran Pak Harto yang begitu tulus mengajarku dan teman-teman yang lain. Meskipun banyak juga yang tidak memperhatikannya. Beliau selama ini diam bukan karena takut atau tidak peduli pada kesibukan mereka, namun karena beliau ingin menilai sejauh mana rasa perhatian dan hormat kami selaku siswa padanya. Aku pun hanya tersenyum simpul melihat semuanya sudah berjalan normal, suasana kelas seperti inilah yang aku dambakan. Ternyata satu poin lagi aku telah berhasil menjadi ketua kelas yang mendidik teman-teman untuk bisa lebih menghargai setiap materi yang disampaikan oleh guru.
***
            Saat bel pulang berbunyi, aku bergegas merapikan buku dan menaruhnya ke dalam tas ransel biruku. Aku pulang bersama Intan, karena rumahku berdekatan dengannya. Namun disaat aku menuruni anak tangga, aku melihat Lina yang menatapku dengan tatapan bengis dan dingin. Sepertinya ia masih marah dengan apa yang aku lakukan tadi padanya. Aku pun merasa bersalah dan segera mendekatinya.
            “Lina, maafin aku ya tadi sudah marah-marah sampai mecahin kaca kamu juga. Nanti aku ganti dengan kaca yang baru ya. Tapi kamu janji jangan berdandan lagi kalau lagi belajar.” Kataku dengan ramah berusaha meluluhkan hati Lina.
            “Maksud kamu apa sih, wid? Kamu mau cari perhatian sama Pak Harto kalau kamu anak teladan di kelas? Hah? Gak usah sok paling hebat deh di kelas!” Jawab Lina dengan nada sinis dan matanya yang melotot seperti mau keluar disaat menatap mataku.
            “Aku tuh ketua kelas! Jadi memang sudah tugasku untuk mengatur kalian menjadi anak yang tertib dan terarah! Kamu menganggap sepele pelajaran Pak Harto, ya sebagai ketua kelas aku gak terima dong. Aku paling gak bisa menyakiti hati guru!” Jawabku tak mau kalah.
            “Oh jadi begitu ya, anak sok teladan? Sudah deh gak usah pura-pura sok baik di depan anak-anak. Kamu tuh licik, wid. Berusaha dapat rengking 1 dengan cara mengambil hati guru. Basi banget deh cara kamu!”
            “Kamu kelewatan banget, lin! Gak sampai hati ya kamu tega ngomong begitu! Cari-cari perhatian sama guru tuh bukan prinsip hidupku! Ingat ya, persaingan yang sehat tuh persaingan otak!”
            “Halah! Gak usah sok bijak deh! Sok dewasa banget sih, wid! Minggir aku mau pulang, gak ada gunanya meladeni orang munafik!” Kata Lina sambil mendorong pundakku dan segera pergi meninggalkanku dan Intan. Aku jadi kesal dengan perlakuan Lina yang benar-benar keterlaluan. Intan yang dari tadi hanya bisa terdiam pun akhirnya angkat bicara.
            “Sudahlah, wid. Sabar saja menghadapi anak seperti Lina. Kamu kan tahu sendiri dia orangnya begitu. Keras kepala dan gak suka diatur. Yang penting kan kamu udah berusaha meminta maaf. Masalah diterima atau gak nya, itu belakangan.” Hibur Intan sambil merangkulku.
            “Terimakasih ya, tan. Kalau gak ada kamu, aku sudah kejar si Lina tuh buat menamparnya. Huuuffh” Kataku sambil mendengus kesal.
            “Jangan gitulah, wid. Sabar. Jangan pakai kekerasan. Sebuah persoalan kalau kekerasan dihadapi kekerasan gak akan pernah selesai. Gunakan pemikiran dengan kepala dingin dan sikap yang lembut. Insya Allah akan luluh juga hatinya”
            “Oke deh, tan. Kamu memang sahabatku yang paling T.O.P B.G.T deh!” Jawabku dengan senyum menyeringai dan membalas rangkulan Intan. Ia pun tertawa mendengar jawabanku. Dan aku pun segera  pulang bersama Intan dengan mengendarai skutermatikku.
***
            Keesokan harinya di kelas, aku seperti biasa datang pagi-pagi ke sekolah dengan semangat. Kulihat ada Pak Dwi yang sudah berdiri dengan gagah di pinggir lapangan sambil melihat-lihat taman sekolah. Aku pun mendekatinya dan menyalaminya. Pak Dwi memang guru yang paling rajin di sekolahku. Jam 6 saja sudah hadir di sekolah.
            “Bagaimana kabarmu, wid?” Tanya Pak Dwi saat aku bersalaman dengannya.
            “Alhamdulillah baik, pak.” Jawabku dengan senyum.
            “Menjadi ketua kelas memang bukan tugas yang gampang, ya?” Tanya Pak Dwi sambil melirikku.
            “Iya, sih pak. Tapi aku selalu berusaha untuk bisa jadi pemimpin yang baik. Kepercayaan mereka yang telah memilihku sebagai ketua kelas adalah sebuah amanah besar yang harus aku pertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya, pak.”
            “Bagus sekali, wid. Kamu memang satu-satunya ketua kelas yang terbaik di sekolah ini. Kamu berhasil memimpin kelasmu yang terkenal dengan anak-anak yang suka membuat masalah dan keributan. Kamu selalu sabar tapi juga tegas. Bapak sangat salut padamu, wid” Kata Pak Dwi sambil menepuk pundakku.
            “Ah, bapak biasa saja kok. Malahan justru aku merasa banyak sekali kekurangannya. Aku senang kalau anak-anak bisa menjadi baik dan gak membuat ulah lagi.” Kataku dengan pipi yang memerah karena tersipu malu.
            “Sukses ya, wid. Bapak bangga punya murid seperti kamu. Bapak sudah tahu berita tentang kemarin ada keributan di kelas kamu. Pak Harto cerita sama semua guru. Beliau sangat salut padamu.”
            “Amin. Terimakasih banget, pak. Atas pujian bapak. Semoga saja dengan kejadian yang kemarin, anak-anak di kelasku bisa tobat. Hehe” Kataku sambil nyengir.
            “Amin. Jangan kapok ya untuk terus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Negeri ini sangat membutuhkan pemimpin yang adil dan bijaksana.”
            “Oke pak!”
***
            Di kelas, anak-anak sibuk mengerjakan soal MTK. Ada yang sibuk menghitung, ada yang sibuk melirik jawaban teman sebelahnya, ada yang santai-santai bahkan ada yang tertidur di kelas. Aku segera mendekati orang yang tertidur itu, Tio.
            “Wooy! Bangun bangun! Sahuuur!” Teriakku di depan telinganya sambil menepuk pundak Tio. Sontak saja dia kaget dan langsung bangun sambil mengusap mukanya.
            Anak-anak di kelas pun cekikikan melihat Tio yang celingukan. Ia pun langsung grasak-grusuk sibuk mengambil buku MTK dari tas lusuhnya dan segera mengerjakan soal yang diberikan Pak Indra. Aku pun hanya bisa tersenyum dan tertawa dalam hati melihat tingkah temanku yang satu ini. Beginilah kehidupan kelasku yang begitu banyak masalah, namun tersimpan kelucuannya juga. Bawa enjoy saja untuk menghadapi watak mereka yang beranekaragam.
***
            Sementara itu, akhir-akhir ini selain kedekatanku dengan Lisa dan Intan, muncullah sosok baru dalam persahabatan kami, yakni Rina. Dia cewek berjilbab juga. orangnya tinggi gemuk dan terkesan wajahnya lebih keibuan. Orangnya lumayan asik juga. Rupanya ia sedang ada masalah dengan teman-teman dekatnya sehingga dijauhi. Itulah sebabnya dia sekarang lebih merapat dengan aku, Lisa dan  Intan. Aku sih menerimanya dengan senang hati dan dengan tangan terbuka. Berteman dengan siapa saja adalah prinsip hidupku. Asal jangan berteman dengan orang yang berperilaku buruk.
            “Eh lis, aku akhir-akhir ini lagi dekat loh sama cowok yang sekolah disebelah sekolah kita. Dia kayaknya suka deh sama aku” Kata Rina.
            “Oh ya? Memangnya siapa orangnya? Kamu kenal darimana?” Tanya Lisa.
            “Namanya Yunus. Aku kenal dari facebook dan tukeran nomor hape deh. Aku sering telponan dan smsan sama dia. Sekarang dia mau mengajakku jalan.”
            “Oh gitu. Terus kamu mau? Memangnya kamu suka dengan dia?”
            “Suka sih, lis. Habisnya dia baik banget. Perhatian juga. Asik deh orangnya.”
            “Tapi kan, kamu baru kenal setidaknya jangan terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Belum tentu dia orang yang baik.”
            “Iya sih, lis. Benar juga katamu. Ah tapi aku pokoknya sudah suka deh dengan dia. Walaupun belum pernah ketemu.”
            “Yasudah, ikuti saja kata hatimu.” Ujar Lisa singkat.
***
            Di lab computer tempat biasa kalau kelasku sedang pelajaran praktek, semuanya sibuk berkutat di depan computer masing-masing. Guruku memberi tugas membuat sebuah pemrograman web berbasis dinamis. Siapa yang paling bagus dialah yang akan mendapatkan hadiah yang guruku janjikan.
            Aku sibuk mendesain dan dengan teliti mengetik tiap kode. Harus jeli dan benar-benar teliti untuk mengerjakan tugas ini. Sesekali aku mengistirahatkan sejenak tubuhku lalu melanjutkan lagi. Kulihat disekelilingku, mereka sama denganku, nampak sibuk mengetik kode. Ada yang nampak stress, bingung, dan ada juga yang sangat santai. Aku pun melanjutkan mengetiknya.
            Selama waktu yang diberikan, aku lihat Lina yang terus menerus bertanya dan minta bantuan ke guruku. Aku mendengus kesal dalam hati, “Ini kan tugas individu. Kenapa sih tuh orang bukannya ngerjain sendiri malah nanya ke guru? Huh!” Anehnya lagi, guruku itu hanya mau membantu Lina saja tak mempedulikan anak-anak yang lain yang jauh lebih kesulitan dibanding Lina. Aku heran, tuh guru gak adil banget sih. Mentang-mentang Lina itu cantik, seenaknya saja dia menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai bagus. Gak sportif banget saingan dengan orang yang seperti itu.
            “Oke, waktu sudah habis. Silakan save kerjaan kalian. Dan tinggalkan kerjaan kalian. Biar bapak nilai dahulu.”  Kata Pak Ishak.
            Aku dan anak-anak yang lain pun menghentikan kerjaan kami. Hufh, syukurlah ternyata kerjaanku akhirnya selesai tepat waktu. Kulihat teman-temanku yang lain masih ada yang setengah jadi, bahkan masih ada perintah yang error. Dan ku tengok kerjaan Lina, ternyata dia juga sudah selesai dan desainnya heboh sekali. Hingga mataku sakit melihat perpaduan warna yang terkesan tak harmonis itu.
            Pak Ishak mengecek satu-persatu kerjaan kami sambil mencatat nilainya. Sesekali ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesekali tersenyum. Entahlah apa yang ia pikirkan. Hanya ia dan tuhanlah yang tahu. Aku masih dilanda rasa was-was. Pikiranku mulai tak tenang.
            “Setelah bapak lihat dan nilai hasil kerja kalian, ternyata yang paling bagus adalah kepunyaan Widya dan Lina. Yang lain masih belum sempurna dan masih ada kode yang error. Sekarang diantara Widya dan Lina harus ada yang tersisihkan. Karena juaranya cuma satu.” Terang Pak Ishak.
            Aku lihat dari kejauhan Lina tersenyum licik padaku. Aku pun buang muka. Aku kesal. Ini tak adil! Pantas saja Lina terpilih! Ya iyalah dia kan dibantuin. Huh ingin rasanya aku protes. Kasian anak-anak yang lain, termasuk aku, berusaha mengerjakannya dengan menguras otak sendiri . Sedangkan Lina? Ahhh menyebalkan sekali! Inikah yang dinamakan persaingan? Tak bermutu!
            Beberapa waktu kelas sunyi dan semuanya terdiam membisu. Semuanya menanti jawaban dari mulut Pak Ishak yang kini sedang sibuk membandingkan hasil programku dengan kepunyaan Lina. Sesekali ia bergumam dan menggaruk-garuk kepalanya. Setelah ia benar-benar matang dalam mengambil keputusannya. Akhirnya Pak Ishak membuka suara. Aku pun pasrah dengan apa yang akan terjadi.
            “Setelah bapak nilai baik-baik. Akhirnya yang memenangkan kuis bapak hari ini adalah……” Kata Pak Ishak yang terpotong membuat jantungku olahraga.
            “Lina!” Lanjut Pak Ishak.
            “Hah Lina??” Respon anak-anak yang tak percaya kalau program yang membuat mata sakit itu menjadi yang terbaik. Aku pun juga terkejut mendengarnya.
            “Pak Ishak matanya katarak kali ya? Masa Web norak kayak gitu dibilang bagus? Masih mendingan punya Widya deh.” Bisik salah satu anak ke anak yang lain, mereka pun mengangguk setuju.
            “INI GAK ADIL!” Teriakku dalam hati. Aku tak kuasa mengucapkannya. Mulutku seolah kelu. Aku sudah berusaha mati-matian dan berpikir keras menguras otak buat mengerjakan program web ini, kalah dengan orang yang hanya bisa berpangku tangan. Ini benar-benar licik! Curang! Aku gak terima kalah dari orang yang tak sepantasnya dijadikan pemenang!
            “Maaf, pak. Tapi menurut saya bapak harus meralat lagi keputusan bapak.” Kata Lisa yang tiba-tiba memecahkan lamunanku. Lisa membelaku?? Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya kau mendengar keluhanku.
            “Ada apa, lis? Kamu gak suka dengan keputusan saya?” Tanya Pak Ishak sambil mengernyitkan dahinya.
            “Coba bapak cek lagi apakah program webnya sudah benar-benar bisa dieksekusi atau tidak.”
            Ternyata ketika dieksekusi, punyaku masih ada yang error sedikit dan punya Lina benar-benar berhasil. Aku jadi semakin geram. Pantas saja lah punya Lina berhasil, dia kan dibantuin!! Sedangkan aku benar-benar murni mengerjakan sendiri.
            “Tuh kan terbukti kalau punya Lina yang berhasil? Siapa yang mau protes lagi?” Tanya Pak Ishak menyindir Lisa.
            Lisa dan Intan berusaha menghiburku, mereka mengelus lembut pundakku seraya berbisik, “Sabar, wid. Bagaimanapun juga, ada kepalsuan dibalik kemenangan Lina. Kita semua tahu kalau Lina itu curang. Kita tahu kalau kamu benar-benar mengerjakannya sendiri. Wajar kalau kamu masih ada yang salah. Karena kamu juga masih belajar. Sedangkan Lina? Hanya bisa memanfaatkan orang lain.”
            Seketika aku jadi tenang mendengar sahabatku ini menghiburku disaat aku benar-benar kesal. Aku sangat beruntung bisa mempunyai sahabat yang hebat seperti mereka. Aku hanya bisa pasrah pada Allah. Cuma Dia-lah yang Maha Tahu kebenaran dibalik semua ini.
***
            Ketika Lisa pulang sekolah, di jalan ia bertemu dengan seorang lelaki yang sepertinya pernah ia kenal. Dia adalah yunus! Ternyata Lisa baru sadar ternyata sosok Yunus yang Rina maksud itu adalah teman TK nya. Mereka pun berbincang dan bernostalgia masa-masa TK dan akhirnya Yunus menawarkan boncengan motor pada Lisa untuk pulang bersama. Yunus meminta nomor handphone Lisa dan kemudian mereka terus berkomunikasi sepanjang hari melalui sms, bahkan teleponan juga!
            Perjumpaan Yunus dan Lisa yang tak disangka-sangka itu ternyata membawa mereka dalam hubungan yang lebih lanjut. Ada rasa cinta diantara mereka. Namun Yunus masih menahan rasa itu. Lisa pun demikian. Ia merasa cocok dan nyaman bisa dekat dengan Yunus. Lisa sebenarnya sangat mengharapkan Yunus bisa menjadi kekasihnya. Namun ia menyadari, kalau masih ada Rina yang mengharapkan Yunus juga. Lisa pun bimbang. Tiba-tiba dalam keheningan, handphone Lisa berdering dan ia lihat Yunus yang meneleponnya. Dengan gugup ia angkat telepon itu.
            “Lis, aku mau bicara hal penting sama kamu.”  Kata Yunus di seberang sana dengan suara yang gugup.
            “Mau bicara apa, yun? Katakan saja.” Jawab Lisa dengan jantung yang terus berdetak tak beraturan.
            “Sejak aku pertama kali bertemu kamu lagi, aku jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, lis. Maukah kamu jadi kekasihku?” Kata Yunus dengan lancar.
            “Hah? Aku gak salah dengar, yun?”
            “Aku serius, lis. Aku sayang sama kamu. Kalau aku boleh tahu, perasaan kamu sendiri bagaimana?”
            “Yunus, bukannya kamu sedang dekat dengan Rina ya?”
            “Itu dulu, lis. Sekarang aku cuma sayang dengan kamu. Kamu lebih baik daripada Rina. Kamu pengertian dan lebih dewasa.”
            “Ee…ee aku juga sebenarnya sayang sama kamu, yun. Tapi kamu benar sudah gak punya hubungan lagi dengan Rina?”
            “Sumpah, lis. Aku sudah lama memutuskan dia. Aku harap kamu bisa percaya sama aku. Berarti kita jadian nih?”
            “Iya.” Jawab Lisa singkat. Merekapun akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih. Lisa sangat senang sekali, begitupun Yunus.
***
            Esoknya, Lisa berangkat sekolah bersama Yunus. Mereka nampak bahagia. Karena sekolah mereka berdekatan jadi mudah buat mereka pulang-pergi sekolah bersama. Lisa pun diturunkan di depan gerbang sekolah. Terlihat dari kejauhan, sosok Rina yang tak sengaja melihat Lisa berangkat bersama dengan Yunus, ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia sangat marah dan cemburu melihat Lisa berpacaran dengan Yunus.
            Sesampainya di kelas, Lisa yang tadinya ceria disambut dengan semprotan dari Rina yang sudah gemas ingin menerkam Lisa.
            “Oh jadi sekarang begini ya, sikap kamu! Ambil saja tuh mantanku! Aku kira kamu tuh orangnya bisa dipercaya, tapi justru diam-diam menghanyutkan! Pengkhianat! Dasar teman makan teman!” Kata Rina sambil mendorong pundak Lisa.
            “Maafkan aku, Rina. Tapi kamu kan sudah tak punya hubungan apa-apa lagi dengan Yunus. Aku sudah terlanjur sayang sama dia. Salahkah aku menyayanginya?”
            “SALAH BESAR! Kamu harusnya bisa menjaga perasaanku sebagai mantannya. Kamu ternyata licik juga ya di belakangku! Oke, lupakan saja semua yang pernah aku ceritakan padamu! Aku gak sudi punya teman pengkhianat macam kamu!”
            Aku yang melihat pertengkaran Lisa dengan Rina langsung melerainya dan menenangkan Lisa. Aku yakin banget pasti dia syok dihina abis-abisan sama Rina. Aku hanya merangkulnya dan berusaha untuk menghiburnya.
            “Kamu gak salah kok menyayangi Yunus. Di dunia ini, cinta tak ada yang salah. Selama cinta itu tulus maka semuanya akan baik-baik saja. Rina masih belum bisa menerima kenyataan. Mungkin dia perlu waktu untuk terbiasa dengan semuanya.” Lisa pun tersenyum mendengar perkataanku dan memelukku erat.
            Terkadang persahabatan memang banyak ujiannya. Ada teman yang hanya datang dan pergi lagi dari hidup kita. Itupun tak lebih hanyalah sebagai pelarian sementara. Pelarian disaat ia dijauhi oleh temannya. Mendekati kita disaat butuh dan membuang kita begitu saja jika sudah tak dibutuhkan. Cinta pun bisa jadi boomerang diantara persahabatan. Cinta segitiga  diantara sahabat, menjadikan seseorang dalam posisi yang serba salah. Satu sisi karena gak enak dengan sahabatnya, satu sisi lain karena rasa cinta yang sama sudah begitu besar. Begitu banyak kisah pahit kehidupanku bersama sahabat-sahabatku, Lisa dan Intan. Disaat dikhianati, diabaikan, diremehkan, dipilihkasihkan dan semua ketidakadilan yang sempat kurasa. Namun, itu semua bisa terobati dan terhibur oleh kesetiaan sahabat yang selalu mendorongku untuk tetap semangat dan pantang menyerah menghadapi perjuangan hidup yang terkadang kejam dan tak adil. Janganlah sia-siakan sahabatmu, karena mereka lah orang yang paling dekat dengan kita selain keluarga kita sendiri. Sahabat, terimakasih atas semua cinta kasihmu padaku. Aku terus bangkit karena motivasi kalian yang bagai angin surga di tengah kegersangan gurun pasir.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar