06 Juli 2011

PENGORBANAN YANG TERABAIKAN BY: WIDYAWATI


            “Brakk..!!” suara pintu ditutup kasar oleh Maya.
            “Maya, sampai kapan kamu mau ngerti, sih? Apa yang mama dan papa lakukan ini yang terbaik untuk kamu. Mama mohon untuk kali ini kamu nurut.” Pinta Mama dibalik pintu kamar Maya.
            “Aku gak mau ma, aku gak mau kuliah! Aku mau kerja saja seperti teman-temanku yang lain. Aku mohon ma, jangan atur-atur hidupku lagi! Aku udah besar!” Teriak Maya yang meringkuk di kamarnya sambil memeluk guling.
            “Mama cuma mau kamu jadi anak sukses, nak.” Lirih mama sambil mengusap air matanya yang tak terbendung lagi.
            “Sudahlah ma, biarkan Maya sendiri dulu. Mungkin dia perlu waktu untuk memikirkan keputusannya.” Kata Papa sambil memeluk Mama dan membawanya ke ruang tengah.
            Di kamar, Maya terus saja mengeluh dan mendumel kesal. Dia gak habis pikir dengan permintaan Mamanya yang menurutnya sangat mengekang hidupnya. Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan memang sebenarnya difokuskan untuk melanjutkan bekerja. Begitupun yang Maya inginkan. Dia sudah bersemangat membuat surat lamaran kerja untuk berbagai perusahaan. Namun, orangtuanya, terutama Mamanya sangat menentang keinginan Maya. Beliau lebih suka kalau Maya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yakni Perguruan Tinggi. Karena beliau rasa, masa depan Maya tentu akan lebih cerah jika bisa sampai lulus S1. Tentunya, orangtua mana yang tidak bangga bila anaknya berhasil dikemudian hari dengan kostum toganya di hari wisuda?
            Sebenarnya, Maya menolak untuk melanjutkan kuliah karena baginya itu hanya merepotkan dan menghabiskan banyak dana orang tuanya. Ia tergolong anak yang pekerja keras dan tak mau merepotkan orang lain termasuk orang tuanya sendiri. Ia lebih memilih ingin bekerja agar dapat membantu meringankan beban orangtuanya dan membantu membiayai sekolah adiknya juga. Ia merasa sudah terlalu banyak hutang budinya dari orangtuanya yang belum terbalas. Lagi pula, Maya juga memiliki keterampilan computer yang bagus dan berpenampilan yang menarik. Prestasinya selama ia sekolah pun sangat mendukungnya untuk sukses di dunia kerja. Maya seorang yang percaya diri, rajin, inisiatif, kreatif, kritis dan ia pun sangat optimis bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan baik.
            Di ruang tengah, Mama dan Papa sibuk berdiskusi tentang tingkah Maya akhir-akhir ini lebih banyak membantahnya daripada menurut. Papa jadi prihatin. Beliau tak tega melihat istrinya terus menerus sedih. Beliau berusaha sedemikian rupa untuk menghibur istri tercintanya itu.
            “Ma, Papa ngerti, Mama pasti ingin punya anak yang sukses sesuai dengan yang Mama inginkan. Tapi adakalanya juga kita harus memperhatikan keinginannya. Kita tak perlu memaksakan kehendak kita. Maya lebih berhak menentukan jalan hidupnya. Kita sebagai orangtuanya hanya bisa mendukungnya bila itu terbaik untuk hidupnya.” Kata Papa sambil merangkul Mama.
            “Tapi pa, Maya kan anak pertama. Dia yang kelak akan jadi tulang punggung keluarga kita. Lulus SMK saja itu tak cukup untuknya. Masih ada jenjang yang lebih tinggi lagi yang lebih menentukan masa depan hidupnya.”
            “Iya papa ngerti ma, untuk saat ini kita coba beri waktu pada Maya untuk merenungi dan memikirkan rencananya kedepan. Suatu saat ia akan mengerti.”
            “Iya pa, makasi ya.” Kata Mama sambil tersenyum setelah merasakan embun segar nasihat suaminya.
            Sementara itu, di kamar bercat warna biru muda itu masih terlihat Maya terbaring di kasurnya. Dia masih memejamkan matanya sekali-kali mengacak-acak rambutnya yang panjang. Ia seperti orang depresi. Sebenarnya ia tak ingin berlama-lama stress tak tentu arah seperti ini. Disaat itu, tiba-tiba handphonenya berdering. Secepat kilat, tangannya langsung menyambar handphone itu dan segera mengangkat telepon dari Melly, sahabatnya.
            “Ada apa, mel?” Tanya Maya memulai pembicaraan.
            “May, aku punya tawaran beasiswa nih dari perusahaan tempat kerjaku. Kamu kan pintar, apa salahnya mencoba?” Kata Melly semangat.
            “Terimakasih banget, mel. Tapi sayangnya aku gak niat untuk kuliah.” Jawab Maya dengan nada sedih.
            “Loh kenapa, may?”
            “Kamu tahu sendiri kan, aku tuh paling gak mau merepotkan orangtuaku cuma buat menghabiskan banyak uang untuk kuliah. Aku ingin kerja seperti kamu, mel”
            “Jangan begitu lah, may. Kamu tuh beruntung masih bisa dikasih kesempatan untuk kuliah. Kamu harusnya jangan melewatkan kesempatan itu. Aku kan bekerja karena akulah tulang punggung keluarga. Sedangkan kamu, orangtua kamu masih mempunyai pekerjaan”
            “Iya juga sih. Ah, tapi tetap aja aku mau kerja saja”
            “Gini ya, may. Kamu tuh dari kelas 10 udah banyak banget prestasi akademis. Peringkat 1 pula. Sayang banget kalau gak dilanjutin ke perguruan tinggi. Mungkin saja kalau kamu udah lulus S1 bisa dapat pekerjaan yang jauh lebih baik daripada tamatan SMK.”
            “Tapi, kan butuh waktu lama. Masih 4 tahun lagi, mel. Tentunya banyak banget dana yang habis dikeluarin buat biaya kuliahku”
            “Ya ampun, may. Aduh aku harus bilang apa lagi ya biar kamu mengerti? Beasiswa di depan mata. Kamu tinggal berusaha saja, pasti bisa dapat. Mengapa masih mikirin dana? Ingat, Allah selalu memberi kemudahan bagi Hambanya yang selalu sabar dan berusaha”
            “Aku takut gak dapat, mel. Aku trauma gara-gara dulu gak diterima di sekolah negeri”
            “Maya yang aku kenal bukan orang yang gampang menyerah. Hello, maya! Buka mata kamu, lihat sekeliling kamu. Bersyukurlah dengan apa yang kamu punya selama ini. Aku sebagai sahabat kamu cuma bisa memberi motivasi biar kamu bangkit.”
            “Terimakasih banget ya, mel. Sudah memberiku semangat. Kamu memang sahabat terbaikku.”
            “Iya sama-sama, may. Aku tahu sebenarnya kamu mau kan melanjutkan kuliah? Mama kamu sangat mendukung kamu. Harusnya jangan kamu sia-siakan. Aku yakin walaupun mama kamu terkesan mengekang, tapi justru itu yang terbaik untukmu. Orang tua pasti ingin yang terbaik untuk masa depan anaknya”
            “Iya, mel. Ada sih keinginanku untuk itu. Tapi mengapa ya keinginanku untuk kerja jauh lebih besar? Sebenarnya keinginanku ini salah gak sih?”
            “Salah sih gak. Tapi disetiap kemanapun langkah hidup kita yang akan kita tempuh justru harus dengan doa restu dan dukungan orangtua. Tentunya harus ada persetujuan mereka. Ridho Allah, Ridhonya orang tua juga. Kalau kamu mau sukses dan di ridhoi Allah, tentunya harus menuruti apapun keinginan mereka. Percayalah, tak ada satupun orang tua di dunia ini yang akan menjerumuskan anaknya pada keburukan.”
            “Kamu benar banget, mel. Selama ini aku salah menganggap mama yang terlalu mengekang. Justru sebenarnya beliau menaruh harapan padaku. Aku memang bodoh. Tak pernah bersyukur memiliki orang tua yang sebenarnya begitu menyayangiku”
            “Gak kok, may. Kamu ga bodoh dan salah. Itu kan karena kamu belum mengerti. Memang sih butuh waktu yang gak sedikit untuk membuat orang mengerti keadaan. Alhamdulillah kalau kamu sudah menyadarinya. Aku jadi senang mendengarnya”
            “Iya terimakasih banget ya, mel. Cuma kamu satu-satunya sahabat aku yang membuatku sadar. Mulai sekarang aku janji, aku akan menuruti semua keinginan orang tuaku. Aku ingin menjadi anak yang berguna dan bisa membahagiakan orang tuaku. Apapun itu, aku akan berusaha, walaupun itu sulit bagiku. Aku akan selalu berusaha sekuat mampuku!”
            “Sama-sama, may. Aku sudah menganggap kamu seperti saudaraku sendiri. Jangan pernah segan untuk curhat padaku. Alhamdulillah aku jadi tambah senang mendengar kamu yang sekarang sudah semangat kembali. Semoga kamu bisa menjadi anak yang berguna untuk keluarga, agama dan Negara ini. Semoga kita bisa sukses, dijalan masing-masing tentunya.”
            “Amiiin”
            Maya pun kini lega, uneg-unegnya selama ini bisa tercurahkan melalui sahabatnya, Melly. Ia telah memuaskan dahaganya yang selama ini kering kerontang. Ia kini jadi semakin mengerti dan mengetahui apa itu perjuangan orangtua yang sesungguhnya. Ya, dibalik kisah anak yang sukses, terdapat orang tua yang luar biasa hebatnya dan begitu besar perjuangannya. Mereka rela berkorban apapun demi anak mereka yang tercinta agar kehidupannya bisa lebih baik lagi. Terlebih bagi orang tua Maya yang tergolong rendah pendidikannya, mereka ingin anak mereka, Maya mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Apapun caranya, mereka membanting tulang siang malam untuk membiayainya. Tetes demi tetes keringat mengucur deras tiap hari. Namun mereka tetap semangat dan tak kenal kata menyerah. Mereka akan terus bekerja keras hingga keberhasilan itu datang. Hanya dengan kesuksesan sang anaklah rasa puas mereka terbayarkan. Seberapa banyak uang yang bisa didapatkan dari seorang anak, takkan mampu menggantikan dan membalas semua pengorbanan mereka. Hanya cukup kebahagiaan dan kesuksesan yang mampu membuat mereka bangga.  Selagi orang tua masih mampu dan sanggup untuk berjuang demi anaknya, janganlah pernah sekali-kali menyia-nyiakannya. Justru itulah yang membuat mereka kecewa dan merasa gagal sebagai orang tua.
            Maya pun bangun dari pembaringannya, ia seka air matanya dan menyisir rambutnya yang acak-acakan. Senyumpun tersungging dari bibir tipisnya. Semangatnya kini bangkit kembali. Ia kini harus maju menuju masa depan yang telah berada di depan matanya. Ia harus mengatakan itu, ya harus mengatakan itu pada orang tuanya, terutama Sang Mama yang begitu menyayanginya. Dengan langkah mantap ia keluar dari kamarnya dan menuju ruang tengah, menemui orang tuanya.
            “Mama, Papa. Mulai sekarang aku akan menuruti keinginan kalian”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar