Dara, bocah yang kini duduk di kelas 5 SD itu adalah seorang anak tunggal dari keluarga Bapak Mukhtar. Keluarga dara terkenal di seluruh penjuru Indonesia. Bapaknya, adalah seorang Bisnisman Perusahaan furniture yang sukses dan sangat kaya raya. Hartanya melimpah, sahamnya ada dimana-mana. Berbagai perusahaan ia bangun, namun yang sangat menonjol adalah perusahaan furniture dan property rumah tangga itu.
Dibalik kekayaan dan fasilitas yang bisa Dara dapatkan, ia masih merasa dirinya tak bahagia seperti selayaknya anak-anak seumurannya. Kehidupannya dikekang, ia tidak boleh pergi keluar rumah tanpa kawalan beberapa pembantunya. Ia tak boleh bermain dan bergaul dengan orang sembarangan. Bahkan ia pun menempuh home schooling untuk pendidikannya. Ia merasa sangat kesepian tanpa seorang teman. Ia tak nyaman tinggal di istana yang baginya adalah neraka.
Namun, Dara tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menuruti perkataan ayahnya yang begitu keras baginya. Ia hanya tinggal bersama ayahnya, ibunya sudah lama meninggal sejak Dara masih berusia 3 tahun karena penyakit Kanker Otak yang begitu ganas. Menambah deretan panjang cerita pahit dan memilukan bagi Dara. Begitu banyak cobaan demi cobaan dalam hidupnya. Untuk menguji iman dan mentalnya. Ia memang anak gedongan, apa saja yang ia minta pasti akan terkabul. Namun, kebahagiaan dan kasih sayanglah yang tak bisa dibeli dengan uang, sebanyak apapun itu! Karena kasih sayang itu tak ternilai harganya.
“Hari ini, papa akan mendatangkan guru les piano untuk kamu, dara. Biar kamu bisa jadi maestro piano dikemudian kelak”
“Pa aku capek tiap hari les ini-itu, belajar tak henti-hentinya. Aku pengen istirahat. Aku mau ngerasain indahnya bermain dan punya teman, pa”
“Kamu berani ngelawan papa?! Mulai nakal kamu sekarang! Siapa yang udah ngajarin kamu jadi anak pembangkang gini?!”
“Aku gak ngelawan pa, aku cuma mau kebahagiaan. Aku ngerasa kesepian”
“Kamu butuh teman? Yasudah nanti papa akan membawa anak teman relasi papa. Kamu gak boleh bergaul dengan orang yang derajatnya lebih rendah dari kita. Kita adalah keluarga terhormat!”
“Pa kenapa sih papa gak ngasi aku kebebasan untuk memilih teman? Aku pengen berteman dengan siapa saja”
“Halah! Kamu tuh masih kecil dara! Belum ngerti yang namanya hidup. Sudahlah lebih baik kamu turutin apa kata papa. Cuma papa yang tahu apa yang terbaik untuk hidup kamu”
Dara hanya melanjutkan sarapannya dengan kedongkolan yang bercokol dohatinya. Untuk permintaan yang satu ini yang tak pernah dikabulkan oleh ayahnya, yang lainnya, mau beli mainan atau baju sebanyak-banyaknya, ayahnya takkan menolak. Hanya rasa sabar yang bisa Dara lakukan.
Pria paruh baya itupun pergi berangkat ke kantor. Kini tinggallah Dara sendirian bersama para pembantunya.
“Bi, waktu bibi kecil sering main gak sama temen-temen?” Tanya Dara polos.
“Iya neng, dulu bibi sering main di sawah sama temen-temen. Main petak umpet, main galasin, main bola bekel. Masil banyak deh permainannya. Emangnya kenapa neng, kok nanyanya gitu?”
“Aku pengen banget ,bi ngerasain indahnya bermain sama teman-teman. Bebas kesana-kemari sesukaku. Tapi yang ada aku malah cuma di kurung disini” Kata Dara sedih.
“Sabar ya, neng. Bibi yakin kok ini yang terbaik untukmu” Kata Bibi Yuni berusaha menghibur.
“Tapi aku gak bahagia bi. Ga enak banget rasanya gak punya temen”
“Kan ada bibi. Kita main aja yuk? Mau main apa?”
“Aku mau main permainan yang bibi certain. Lari-larian dan bercanda sama temen. Pasti lebih asyik”
“Yah itu kan harus berkelompok mainnya. Hmm, main boneka aja yuk?”
“Bosen ah, bi”
“Kamu mau ikut bibi?”
“Kemana?”
“Ke tempat masa kecil bibi”
“Tapi ntar aku dimarahi papa kalau keluar”
“Gak apa-apa. Bibi berani ngejamin kok. Kamu akan aman kok”
“Oh yaudah. Makasi banget ya, bi”
“Iya sama-sama. Ayo kita siap-siap”
***
Setelah Bibi Yuni memberitahu teman-teman pembantu di rumah Dara, ia pun segera membawa pergi Dara menuju tempat yang bisa membuatnya bahagia. Setibanya disana, Dara begitu berdecak kagum menyaksikan pemandangan yang ia lihat. Ia menyaksikan hijaunya persawahan yang terhampar sejauh mata memandang. Lalu diatas pegunungan itu berdiri tegak pepohonan di rerimbunan hutan belantara. Semuanya menakjubkan, terlihat anak-anak kecil kumuh yang seusia dengannya sedang asyik berlarian di sawah sambil berkejar-kejaran. Dara penasaran dan ingin sekali mendekati mereka.
“Bi, aku mau main bersama mereka” Pinta Dara sambil menunjuk sekelompok anak yang berkubangan di lumpur.
“Tapi kamu gak boleh berkotor-kotoran sayang”
“Yaudah tapi pokoknya aku mau main sama mereka!”
“Iya iya, sebentar ya, bibi panggilin mereka”
“Nak Olip, nak gusti!” teriak Bi Yuni sambil melambaikan tangan kea rah sekelompok bocah tadi.
“Eh ada mbok yuni. Ayo kita kesana” Ajak gusti pada teman-temannya.
“Ayok” seru mereka bersamaan.
“Kalian sedang apa?” Tanya Dara sambil menatap satu persatu bocah itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Abis main mandi lumpur. Hii” Jawab Olip sambil nyengir polos.
“Ih kok jorok sih mainnya? Katanya cuma main petak umpet sama galasin?”
“Iya sih biasanya kita main itu, tapi kita bosen kalau mainnya itu terus” ucap lili.
“Betul itu” seru yang lainnya.
“Yaudah sekarang kalian ganti baju ya, bibi bawa anak majikan bibi buat main bersama kalian. Oh iya, kenalan dulu dong”
“Dara” kata dara sambil bersalaman dengan mereka.
“Agus”
“Gusti”
“Olip”
“Lili”
“Senang bisa berkenalan dengan kalian” kata Dara sambil tersenyum.
“Kami ganti baju dulu ya, dara” kata Lili.
“Iya”
“Ayo ikut ke pondok kami” ajak Agus.
“Iya terimakasih, yuk” kata Bibi dan Dara sambil berjalan mengikuti langkah bocah-bocah itu.
Setibanya di pondok kecil itu, Dara begitu tercengang dengan apa yang ia lihat. Dirumah yang begitu kecil ini mereka bisa bahagia walaupun dalam himpitan ekonomi yang sulit. Mereka masih bisa tertawa dan berlarian tanpa memikirkan keadaan keluarga mereka yang dibawah garis kemiskinan. Kehidupan seperti inilah yang Dara tak miliki. Ia memang punya segalanya, namun kebahagiaan dan kasih sayang keluarga yang tidak ia dapati. Dara sangat terharu dan salut pada kekompakan mereka. Ia begitu sadar masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya.
“Bi, aku jadi pengen tinggal disini’
“Hmm, kasian dong bibi nanti sendirian kalau kamu disini. Begitu juga papa kamu”
“Bibi kan masih bisa kesini lagi. Kalau papa, dia gak akan peduli”
“Jangan gitu dong manis. Semuanya sangat sayang kok sama kamu”
“Hei, kita mau main apa nih?” kata Lili yang tiba-tiba keluar dari pintu sambil mengenakan kaos usangnya.
“Main galasin yuk? Tapi ajarin aku ya” Kata Dara polos.
“Ayuk ayuk” Sahut Gusti dan Agus.
Mereka pun pergi menuju lapangan di dekat sungai. Mereka pun saling suit utuk menentukan kelompok. Setelah suit, merekapun segera memulai permainan. Masing-masing ditempatkan sesuai posisinya, satu sama lain harus bisa menyentuh lawannya. Supaya bisa memenangkan permainan. Nampak Dara yang sedikit grogi, namun ia bahagia bisa merasakan asyiknya bermain sebebas ini. Bi Yuni menatap mereka yang sedang asyik bermain dari balik rerumputan, ia tersenyum bahagia bisa melihat putri jutawan itu senang.
Tanpa ia sadari ternyata hari semakin sore, Bi yuni pun akhirnya segera meminta mereka untuk berhenti bermainnya. Karena Dara harus segera pulang.
“Maaf ya, Dara harus segera pulang nanti dia bisa dimarahi papanya kalau terlambat pulang”
“Iya gak apa-apa kok. Kapan-kapan kesini lagi ya Dara. Seru banget bisa main bersama kamu!” Kata Gusti
“Iya, tenang aja. Aku akan sering-sering kesini lagi kok”
Merekapun berpamitan dan bergegas pulang. Mereka naik sebuah angkutan kota yang panas dan sumpek, namun tak menghilangkan rasa bahagia yang baru saja mereka alami. Dara tak henti-hentinya bercerita tentang pengalaman mengasyikkan ketika bermain. Sementara Bi Yuni dengan sabar meladeni Dara yang cerewet ini. Tak terasa mereka sudah tiba di depan gerbang istana itu. Lalu merekapun memasuki rumah dan berharap pak Mukhtar belum pulang. Namun, kenyataan berkata lain. Saat mereka memasuki rumah, terlihat Pak Mukhtar sedang berdiri tegak dengan mata melotot dan geram. Mereka pun ketakutan melihatnya.
“Darimana saja kalian baru pulang jam segini?!”
“Maaf tuan, tadi saya abis ngajak Dara ke taman di dekat perumahan sini”
“Berani-beraninya kamu membawa Dara tanpa seijin saya! Mau kamu saya pecat?!”
“Jangan, pa! Bi Yuni gak salah kok, aku yang salah udah ngerengek-rengek minta main di taman” Kata Dara dengan polosnya membela pembantunya yang sangat berjasa padanya.
“Hm baiklah, kamu masih bisa saya maafkan. Tapi kalau kejadian ini terulang lagi, saya gak akan segan-segan memecatmu! Masih banyak kok yang mau becus kerja disini!”
“Makasi, tuan. Maafkan saya yang sudah lancang. Kalau begitu saya permisi dulu ke dapur” Pamit Bi yuni sambil bergegas menuju dapur. Kini hanya tinggal Pak Mukhtar bersama Dara.
“Dara, kamu jangan nakal ya. papa sangat sayang sama kamu. Papa gak mau kehilangan kamu. Cukup mama aja yang pergi, tapi kamu jangan” Pinta Pak Mukhtar sambil memeluk Dara.
“Iya pa, Dara juga sayang banget sama papa”
***
Di kantor…
“Kita harus cari lokasi baru yang akan kita pakai untuk bahan produksi kita” Kata Pak Mukhtar memulai meeting.
“Tapi pak, apakah bapak tau dimana tempat yang cocok?” Sanggah salah seorang bawahan Pak Mukhtar.
“Saya dapat tempat bagus. Masih banyak pohon-pohon jati di tempat itu” Kata Pak Mukhtar sambil tersenyum licik.
“Wah, bagus itu, pak. Terus gimana pengurusan gono-gininya?” Tanya Sekretaris Pak Mukhtar.
“Itu sih gampang. Hutan itu kebetulan dekat dengan kampung halaman pembantu saya. Tinggal kasih mereka uang yang melimpah juga akan nurut. Hahaha”
“Ya mereka kan hanya orang miskin. Pasti dikasih uang saja langsung lupa sama yang lainnya. Betul kan boss?” Tanya salah seorang bawahan Pak Mukhtar.
“Betul itu! Hahaha” Jawab Pak Mukhtar dengan tawa yang penuh rasa sombong.
***
Keesokan harinya, di desa sukawangi…
Terlihat segerombolan mobil mewah mendatangi persawahan yang asri itu. Para petani pun tercengang melihat kedatangan mereka yang tak pernah mereka ketahui. Namun mereka mengenali salah satu orang itu, ya dialah Pak Mukhtar. Mereka langsung berebut bersalaman menuju Sang Jutawan itu.
“Ada apa Pak Mukhtar yang begitu terhormat dan terpandang di negeri ini sudi mendatangi sawah kami?” Tanya salah seorang petani dengan rasa hormat.
“Begini, saya lihat di dekat sawah ini ada hutan jati kan? Saya berminat untuk membeli hutan tersebut. Saya berani membayar mahal!”
“Ampun pak, bukannya kami tak mau. Tapi itu Hutan milik pemerintah” Sanggah salah seorang petani.
“Saya akan membelinya dan mengurus semuanya. Kalian tinggal terima jadi saja. Kalian mau menawar berapa? Saya akan bayar berapapun yang kalian minta!”
Petani-petani itupun tercengang, mereka bingung dengan tawaran yang sayang untuk ditolak ini. Tapi mereka tak tega menjual hutan dan sawah mereka pada jutawan itu. Mereka diam sesaat dan saling pandang satu sama lain dengan tatapan kosong.
“Bagaimana? Mau tidak? Saya berani membeli hutan ini dan kalau perlu bersama sawahnya juga! 1 milyar? 2 milyar? Berapapun akan saya sanggupi!”
Petani itu tercengang mendengar angka yang demikian fantastis itu. Mereka membayangkan akan menjadi kaya mendadak mempunyai uang sebanyak itu. Lalu mereka berbisik merundingkannya. Entah karena himpitan ekonomi atau memang tak sanggup mengurus sawah itu lagi, mereka pun akhirnya rela menjual sawah dan hutan itu.
“Baiklah, Pak. Kami terima tawaran bapak. 3 milyar bisa?”
“Hahahahaha. Berapapun itu, saya sanggup!”
Seketika, sawah dan hutan itupun sekarang jadi milik Pak Mukhtar. Dengan kekayaan harta yang berlimpah, ia mampu membeli segalanya. Namun Pak Mukhtar terlalu picik pada kehidupan. Ia begitu egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri demi keuntungan yang akan ia dapati. Ia selalu merusak alam. Sudah banyak hutan yang jadi gundul karena habis ditebang untuk produksi furniturenya.
***
Di rumah Dara…
Dara sedang sibuk bersiap-siap untuk ke desa yang kemarin ia kunjungi. Tepatnya Desa Sukawangi, tempat yang akan dibabat habis oleh ayahnya sendiri. Ia membawa berbagai makanan dan mainan yang akan ia sumbangkan untuk teman-teman barunya itu. Bersama Bi Yuni, ia pun bergegas menaiki sebuah kendaraan angkutan umum menuju Desa Sukawangi yang tidak terlalu jauh dari rumahnya itu.
Sementara itu, terlihat berbagai alat berat dan para tukang penebang sibuk untuk menebang pohon di Desa itu. Suasana yang tadi hening dan sunyi kini berubah menjadi bising dan lama-kelamaan akan gersang. Keasrian desa itu akan musnah diujung mesin penebang. Pak Mukhtar terlihat senyum-senyum licik dan bangga, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan keuntungan yang besar.
Dara dan Bi Yuni akhirnya tiba di Desa Sukawangi. Namun mereka melihat keanehan dan perubahan yang begitu drastis dari tempat itu. Baru saja kemarin mereka melihat pemandangan yang asri, kini berganti menjadi pemandangan yang gersang dan bising. Bi Yuni melihat sesosok Pak Mukhtar yang sedang melihat-lihat lokasi. Beliau pun tak banyak kata segera menghampiri Pak Mukhtar.
“Pak, apa-apaan ini bapak menggusur kampung saya? Bahkan menebang semua pepohonan di hutan?” Kata Bi Yuni tak terima.
“Ngapain kamu disini?! Ngapain juga kamu membawa anak saya?! Ini bukan urusan kamu, ini urusan bisnis saya!”
“Pa, baru saja aku mendapatlan kebahagiaan yang tak pernah aku rasakan selama ini. Tapi papa tega menghancurkan semuanya! Papa jahaat!” Teriak Dara sambil memukul-mukul kakai Ayahnya.
“Apa-apaan kamu dara? Kebahagiaan apa yang kamu maksud? Ga ada kebahagiaan disini! Disini hanya tanah gersang yang ga berguna!”
“Papa, tega mengambil semuanya! Papa tega merampas kebahagiaanku. Kehidupan teman-teman baruku!”
“Dara, kamu anak kecil ga ngerti apa-apa gak usah banyak bicara. Lebih baik kamu pulang sekarang juga!”
“Gak! Aku gak akan pulang. Sebelum papa menghentikan ini semua. Papa ga mau kan kehilangan aku? papa sayang kan sama Dara?”
“Dara, kamu gak usah manja gitu dong. Ini tuh urusan bisnis papa. Kita bisa hidup dari hutan ini sayang. Kamu mau hidup dijalanan hah?!”
“Gak apa-apa Dara hidup dijalanan! Yang penting Dara bisa bahagia. Daripada sekarang, papa hanya memikirkan diri papa sendiri. Papa gak pernah peduli sama lingkungan yang udah papa rusak! Papa juga ga mikirin gimana perasaanku selama ini yang selalu dikekang dengan berbagai macam aturan papa!”
“Berani kamu melawan papa?!!!” Kata Pak Mukhtar sambil mengarahkan tangannya ke wajah Dara.
“Cukup pak!” seru Bi Yuni sambil menepis tamparan Pak Mukhtar dari wajah Dara. Bi Yuni sudah tak tahan lagi melihat Dara disiksa seperti ini di hadapannya.
“Kamu juga, yun! Kurang ajar! Kamu tuh pembantu! Ga ada rasa sopannya kau sama majikan! Mau saya pecat?!”
“Gak apa-apa saya dipecat. Saya sudah gak tahan dan gak tega ngeliat bapak selalu menyiksa bathin Dara. Ia masih kecil, butuh kebahagiaan yang pantas untuk anak seusianya! Ga seperti ini pak caranya membuat Dara bahagia. Ini justru menyiksa Dara!”
“Kau tuh pembantu! Ngapain menggurui saya!”
“Maaf pak kalau saya terkesan menggurui bapak. Setidaknya kita sama-sama manusia. Harus saling mengingatkan. Semua manusia sama, pak!”
“Halah! Kau ga pantas bicara seperti itu di depan saya! Lulus SD juga tidak. Gak usah menggurui saya!”
“Udah cukup, pa! kalau papa masih tetap ingin menghancurkan kebahagiaan Dara. Lebih baik Dara pergi. Dara lebih bahagia bersama Bi Yuni. Walaupun kekurangan, tapi Dara bisa bahagia!”
“Dara, kamu jangan tinggalin papa. Papa mohon. Cuma kamu satu-satunya harta papa yang paling berharga” Kata Pak Mukhtar yang tiba-tiba luluh oleh pinta Dara.
“Aku akan pergi, kalau papa tetap ingin memusnahkan hutan ini! Apakah Papa gak sadar betapa berartinya pohon-pohon ini bagi kehidupan manusia?!”
“Maafkan papa, Dara. Papa memang sudah terlanjur tersilap dengan kilauan harta. Sehingga papa melupakanmu dan melupakan lingkungan sekitar”
“Papa sayang Dara kan? Kalau begitu Dara pengen papa suruh pulang tukang-tukang itu” kata Dara sambil menunjuk ke arah para pekerja yang sedang sibuk menebang.
“Iya sayang. Papa sangat sayang sama kamu. Papa akan turutin keinginan kamu. Papa janji gak akan menyia-nyiakan kebahagiaanmu lagi” Kata Pak Mukhtar sambil memeluk erat Dara
“Makasih pa”
“Iya Dara. Maafkan papa”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar